SUGENG RAWUH

Rabu, 04 Juni 2014

BAHASA JAWA? OHHHH TIDAAKK........



Bahasa  merupakan media komunikasi antar manusia. Bahasa digunakan untuk menyampaikan gagasan pembicara (penutur) kepada pendengar (mitra tutur). Selain itu bahasa juga digunakan untuk mengekspresikan atau mengungkapkan isi hati seseorang. Ini menunjukkan bahwa bahasa adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan masyarakat dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Tidak terkecuali suku Jawa yang juga memiliki bahasanya sendiri. Sayangnya di era globalisasi seperti saat ini, eksistensi bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu sangat memprihatinkan. Bahasa Jawa pesonanya digeser oleh bahasa-bahasa asing dan bahasa “gaul”, terutama di kalangan remaja. Bahkan sekedar mendengar kata “bahasa Jawa”, mereka akan mengatakan “oohhh tidaakkk...”. Sungguh ironis. Jika hal ini terus berlanjut, maka bukan tidak mungkin suatu saat bahasa Jawa akan menjadi bahasa mati atau bahkan punah dan tidak di kenal lagi.
Menurut catatan UNESCO, sepuluh bahasa mati setiap tahun di dunia ini. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam abad ini diperkirakan 50% sampai 90% dari bahasa yang dituturkan saat ini akan punah. Jika hal tersebut sampai terjadi, sungguh sangat disayangkan. Padahal dalam bahasa Jawa, mengajarkan kepada kaum muda untuk menghormati orang yang lebih tua, orang tua menyayangi yang lebih muda. Hal ini senada dengan hadits Rasulullah SAW “bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi orang muda diantara kami, dan tidak mengetahui kemuliaan orang yang tua diantara kami” (HR. At-Tirmidzy dari Abdullah bin Amr RA, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany). Sikap berbahasa (unggah-ungguh) yang lebih menghormati lawan bicara, daripada dirinya sendiri akan menjauhkan seseorang dari sifat sombong dan angkuh. Allah berfirman Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS. Luqman: 18). Serta masih banyak lagi nilai filosofis maupun pendidikan dalam penggunaan bahasa Jawa.
Jika kita mau sedikit introspeksi, sebenarnya ada beberapa faktor penyebab menurunnya eksistensi bahasa Jawa, terutama di kalangan remaja. Pertama, faktor remaja itu sendiri. Dalam benak kita mungkin sering muncul pertanyaan, “Kenapa para remaja enggan menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari”? Alasannya beragam, diantaranya bahasa Jawa merupakan bahasa yang sudah ketinggalan zaman, tidak gaul, sulit, tidak tahu artinya dan juga membingungkan, apalagi untuk membaca atau menulis aksara Jawa. Namun sebenarnya, yang menjadi faktor utama adalah rasa bangga terhadap “diri sendiri” serta rasa “memiliki” di kalangan remaja sangat kecil atau justru sudah hilang.
Kedua, faktor Keluarga. Sejak awal, anak tidak dikenalkan menggunakan bahasa Jawa yang baik dan benar di lingkungan keluarganya. Dalam percakapan sehari-hari orang tua tidak menggunakan bahasa Jawa tetapi menggunakan bahasa Indonesia. sebagian orang tua bahkan lebih bangga jika anaknya bisa berbahasa Inggris daripada menggunakan bahasa Jawa yang baik dan benar.
Faktor ketiga adalah sekolah. Hampir sama dengan yang terjadi pada lingkungan keluarga, di sekolahpun anak cenderung dibiasakan menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Terkadang anak-anak lebih ditekankan menggunakan bahasa asing, bahasa Inggris misalnya. Bahkan ada beberapa sekolah di lingkup Jawa yang tidak mengajarkan pendidikan bahasa Jawa.
Keempat, faktor pemerintah. Pemerintah juga memiliki andil dalam pelestarian bahasa daerah, namun sepertinya para pemimpin kita tidak begitu memperhatikan kegiatan yang mengarah pada pelestarian bahasa Jawa, kalaupun ada hanya segelintir orang saja. Dalam kegiatan-kegiatn yang deselenggarakan pemerinth jarang sekali ada kegiatan yang mengarah pada pelestarian bahasa Jawa.
Lalu bagaimana upaya untuk nguri-nguri kabudayan Jawi, terutama bahasa Jawa? Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menumbuhkan rasa cinta dan bangga para kaum muda terhadap bahasa Jawa itu sendiri. Jika rasa cinta itu sudah tumbuh, maka sesulit apapun pasti akan dipelajari. Mungkin akan ada mengatakan bahwa bahasa Jawa tidak “gaul”, atau itu bahasa “ndesO”, bahkan bahasa “primitif”. Coba pernyataan itu dikaji ulang. Di Solo banyak sekali mahasiswa dari luar negeri (Jepang, Amerika) yang rela hidup bertahun-tahun di Solo hanya untuk belajar bahasa dan budaya Jawa. Bahkan saat ini ada mahasiswa Jepang yang kemahirannya dalam menggunakan bahasa Jawa bisa dikatakan melebihi orang Jawa asli. Apakah kita tidak malu? Jangan sampai kita menjadi “tamu di rumah kita sendiri”.
Yang kedua, anak harus dibiasakan menggunakan bahasa Jawa di lingkungan keluarga. Bisa itu karena biasa, meskipun pada awalnya sulit, jika sudah terbiasa akan mudah saja. Seorang perokok itu ketika pertama kali mencoba rokok pasti akan batuk-batuk, tapi ketika sudah terbiasa akan enak-enak saja. Begitu juga dalam berbahasa.
Cara yang ketiga adalah di lingkungan sekolah hendaknya para pendidik juga mulai membiasakan untuk menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi. Ada peribahasa yang sering kita dengar “guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Guru kencing berlari, murid kencing di atas pohon kenari”. Ini menunjukkan bahwa setiap perilaku guru, akan ditiru oleh muridnya, tidak terkecuali dalam hal berbahasa.
Dan yang terakhir, hendaknya pemerintah memperhatikan kelestarian bahasa daerah. Hal ini bisa dilakukan dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang memicu anak agar bersemangat belajar bahasa Jawa. Misalnya dengan mengadakan debat bahasa Jawa, mengarang dengan bahasa Jawa atau kegiatan yang lain. Apresiasi dari pemerintah tentunya akan memberi dampak positif terhadap eksistensi bahasa Jawa.
Indonesia adalah negara yang kaya, jika kita tidak bisa menikmati kekayaan harta dan alamnya maka cukuplah kiranya bagi kita menikmati kekayaan budayanya. Dan bahasa Jawa adalah bagian dari budaya itu.