Bahasa
merupakan media komunikasi antar manusia. Bahasa digunakan untuk
menyampaikan gagasan pembicara (penutur) kepada pendengar (mitra tutur). Selain
itu bahasa juga digunakan untuk mengekspresikan atau mengungkapkan isi hati
seseorang. Ini menunjukkan bahwa bahasa adalah suatu hal yang penting dalam
kehidupan masyarakat dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Tidak terkecuali
suku Jawa yang juga memiliki bahasanya sendiri. Sayangnya di era globalisasi
seperti saat ini, eksistensi bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu sangat
memprihatinkan. Bahasa Jawa pesonanya digeser oleh bahasa-bahasa asing dan
bahasa “gaul”, terutama di kalangan remaja. Bahkan sekedar mendengar kata “bahasa Jawa”, mereka akan mengatakan “oohhh tidaakkk...”. Sungguh ironis. Jika
hal ini terus berlanjut, maka bukan tidak mungkin suatu saat bahasa Jawa akan
menjadi bahasa mati atau bahkan punah dan tidak di kenal lagi.
Menurut catatan UNESCO, sepuluh bahasa
mati setiap tahun di dunia ini. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam abad ini
diperkirakan 50% sampai 90% dari bahasa yang dituturkan saat ini akan punah.
Jika hal tersebut sampai terjadi, sungguh sangat disayangkan. Padahal dalam
bahasa Jawa, mengajarkan kepada kaum muda untuk menghormati orang yang lebih
tua, orang tua menyayangi yang lebih muda. Hal ini senada dengan hadits
Rasulullah SAW “bukanlah termasuk
golongan kami orang yang tidak menyayangi orang muda diantara kami, dan tidak
mengetahui kemuliaan orang yang tua diantara kami” (HR. At-Tirmidzy dari
Abdullah bin Amr RA, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany). Sikap berbahasa (unggah-ungguh)
yang lebih menghormati lawan bicara, daripada dirinya sendiri akan menjauhkan
seseorang dari sifat sombong dan angkuh. Allah berfirman “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri”. (QS. Luqman: 18). Serta masih banyak
lagi nilai filosofis maupun pendidikan dalam penggunaan bahasa Jawa.
Jika kita mau sedikit introspeksi,
sebenarnya ada beberapa faktor penyebab menurunnya eksistensi bahasa Jawa, terutama
di kalangan remaja. Pertama, faktor remaja itu sendiri. Dalam benak kita
mungkin sering muncul pertanyaan, “Kenapa para remaja enggan menggunakan bahasa
Jawa dalam percakapan sehari-hari”? Alasannya beragam, diantaranya bahasa Jawa
merupakan bahasa yang sudah ketinggalan zaman, tidak gaul, sulit, tidak tahu
artinya dan juga membingungkan, apalagi untuk membaca atau menulis aksara Jawa.
Namun sebenarnya, yang menjadi faktor utama adalah rasa bangga terhadap “diri
sendiri” serta rasa “memiliki” di kalangan remaja sangat kecil atau justru
sudah hilang.
Kedua, faktor Keluarga. Sejak awal, anak
tidak dikenalkan menggunakan bahasa Jawa yang baik dan benar di lingkungan
keluarganya. Dalam percakapan sehari-hari orang tua tidak menggunakan bahasa
Jawa tetapi menggunakan bahasa Indonesia. sebagian orang tua bahkan lebih
bangga jika anaknya bisa berbahasa Inggris daripada menggunakan bahasa Jawa
yang baik dan benar.
Faktor ketiga adalah sekolah. Hampir
sama dengan yang terjadi pada lingkungan keluarga, di sekolahpun anak cenderung
dibiasakan menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Terkadang anak-anak
lebih ditekankan menggunakan bahasa asing, bahasa Inggris misalnya. Bahkan ada
beberapa sekolah di lingkup Jawa yang tidak mengajarkan pendidikan bahasa Jawa.
Keempat, faktor pemerintah. Pemerintah
juga memiliki andil dalam pelestarian bahasa daerah, namun sepertinya para
pemimpin kita tidak begitu memperhatikan kegiatan yang mengarah pada
pelestarian bahasa Jawa, kalaupun ada hanya segelintir orang saja. Dalam
kegiatan-kegiatn yang deselenggarakan pemerinth jarang sekali ada kegiatan yang
mengarah pada pelestarian bahasa Jawa.
Lalu bagaimana upaya untuk nguri-nguri kabudayan Jawi, terutama
bahasa Jawa? Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menumbuhkan rasa cinta
dan bangga para kaum muda terhadap bahasa Jawa itu sendiri. Jika rasa cinta itu
sudah tumbuh, maka sesulit apapun pasti akan dipelajari. Mungkin akan ada
mengatakan bahwa bahasa Jawa tidak “gaul”, atau itu bahasa “ndesO”, bahkan
bahasa “primitif”. Coba pernyataan itu dikaji ulang. Di Solo banyak sekali
mahasiswa dari luar negeri (Jepang, Amerika) yang rela hidup bertahun-tahun di
Solo hanya untuk belajar bahasa dan budaya Jawa. Bahkan saat ini ada mahasiswa
Jepang yang kemahirannya dalam menggunakan bahasa Jawa bisa dikatakan melebihi
orang Jawa asli. Apakah kita tidak malu? Jangan sampai kita menjadi “tamu di rumah kita sendiri”.
Yang kedua, anak harus dibiasakan
menggunakan bahasa Jawa di lingkungan keluarga. Bisa itu karena biasa, meskipun
pada awalnya sulit, jika sudah terbiasa akan mudah saja. Seorang perokok itu
ketika pertama kali mencoba rokok pasti akan batuk-batuk, tapi ketika sudah
terbiasa akan enak-enak saja. Begitu
juga dalam berbahasa.
Cara yang ketiga adalah di lingkungan sekolah
hendaknya para pendidik juga mulai membiasakan untuk menggunakan bahasa Jawa
dalam berkomunikasi. Ada peribahasa yang sering kita dengar “guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Guru kencing berlari, murid kencing di atas pohon kenari”. Ini menunjukkan
bahwa setiap perilaku guru, akan ditiru oleh muridnya, tidak terkecuali dalam
hal berbahasa.
Dan yang terakhir, hendaknya pemerintah
memperhatikan kelestarian bahasa daerah. Hal ini bisa dilakukan dengan
mengadakan kegiatan-kegiatan yang memicu anak agar bersemangat belajar bahasa
Jawa. Misalnya dengan mengadakan debat bahasa Jawa, mengarang dengan bahasa
Jawa atau kegiatan yang lain. Apresiasi dari pemerintah tentunya akan memberi
dampak positif terhadap eksistensi bahasa Jawa.
Indonesia adalah negara yang kaya, jika
kita tidak bisa menikmati kekayaan harta dan alamnya maka cukuplah kiranya bagi
kita menikmati kekayaan budayanya. Dan bahasa Jawa adalah bagian dari budaya
itu.